RETAS.News, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap catatan kelam kepolisian dalam lima bulan terakhir. Sepanjang periode itu, tercatat 55 kasus kekerasan aparat saat mengamankan aksi massa di berbagai daerah.
Anggota KontraS, Dimas Bagus Arya, menjelaskan pola represif tersebut tidak hanya terjadi di jalanan saat demonstrasi berlangsung. Kekerasan juga muncul di ruang pemeriksaan, bahkan pada kasus salah tangkap.
“Pola ini terus berulang tanpa koreksi dan evaluasi dari institusi kepolisian,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung LBH Jakarta, seperti diberitakan cnnindoensia, Jumat (29/8/2025).
Ia menegaskan, kekerasan aparat tidak bisa dianggap insiden semata. Menurut Dimas, respons berlebihan polisi justru mencerminkan pembiaran negara terhadap praktik represif, padahal konstitusi menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
“Ini bentuk pelanggaran HAM. Aparat seharusnya hadir untuk melindungi warga, bukan melukai mereka ketika menyampaikan kritik terhadap kebijakan negara,” kata Dimas.
KontraS menyoroti bahwa kekerasan berlanjut ke ranah hukum. Intimidasi saat pemeriksaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga salah tangkap, masih kerap terjadi.
Mereka menilai tidak adanya evaluasi membuat pola impunitas terus berlangsung.
Tragedi terbaru terjadi pada 25 dan 28 Agustus 2025. Insiden terakhir menewaskan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, setelah mobil taktis kepolisian melindasnya saat aparat membubarkan aksi.
“Tragedi Affan adalah alarm serius. Negara kembali gagal menghormati prinsip HAM dan membiarkan aparat kebal hukum,” tegas Dimas.
Bagi KontraS, deretan peristiwa ini menandakan gagalnya institusi negara mencegah kekerasan berulang. Kebebasan berpendapat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, menurut mereka, tidak boleh terus dikorbankan.
“Negara membiarkan aparat bekerja tanpa mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang jelas. Inilah sebab kekerasan terhadap warga tidak pernah berhenti,” tandasnya.(*)
Comment