RETAS.News, Makassar – Dugaan pelanggaran agraria oleh PT INTI Cakrawala Citra (Indogrosir), anak usaha Salim Group, di Km 18 Makassar kembali memicu kecaman publik.
Mantan Presiden Mahasiswa UIN sekaligus Ketua PB HMI periode 2018, Pahmuddin Holik, menyatakan hal itu mencerminkan kelambanan pemerintah dan aparat penegak hukum, padahal berbagai fakta hukum terkait kasus ini telah terbuka ke publik.
“Pelanggaran hukum di Km 18 sudah ditelanjangi. Tapi yang terjadi, negara malah menonton seolah membenarkan. Jika terus diam, pemerintah ikut mengamini ketidakadilan,” tegas Pahmuddin di Makassar, Selasa (20/10/2025).
Pahmuddin menyebut bukti dan dokumen resmi menunjukkan klaim kepemilikan lahan PT Indogrosir lemah secara hukum dan administratif, antara lain:
- Labfor Polri (2001) menyatakan dokumen rincik atas nama Tjonra tidak autentik.
- Polda Sulsel (2022) menyimpulkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Annie salah lokasi; seharusnya Km 20, bukan Km 18.
- Kesaksian Baso Lewa, mantan pegawai IPEDA, menyebut data pajak atas nama Tjoddo konsisten sejak masa kolonial.
- Lurah Pai, Jabbar S.Sos, menyatakan Tjoddo bin Lauma pemilik sah lahan Km 18.
- Pembayaran pajak 2025 senilai Rp122 juta dilakukan ahli waris Tjoddo, Abdul Jalali Dg. Nai.
Meski fakta ini dipublikasikan, Pahmuddin menyebut BPN Makassar belum mengambil tindakan. PT Indogrosir masih menggunakan SHGB yang Mahkamah Agung batalkan pada 2004 dan dinyatakan tidak berlaku oleh Kanwil BPN pada 2015.
Pahmuddin menilai kelambanan pemerintah dan aparat hukum mencerminkan lumpuhnya moral negara dalam menegakkan keadilan.
“Ketika semua bukti terbuka tapi lembaga negara tak bergerak, ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini tanda hukum tak lagi berfungsi. Kalau hukum berhenti di meja korporasi, rakyat berhenti percaya pada negara,” ujarnya.
Ia menyampaikan empat desakan utama:
- Presiden Prabowo Subianto memerintahkan audit nasional status kepemilikan lahan Km 18.
- Kementerian ATR/BPN membatalkan SHGB PT ICC yang cacat hukum.
- KPK dan Kejaksaan Agung menindak oknum birokrat yang terlibat penyalahgunaan kewenangan.
- DPR menindaklanjuti hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan kebijakan tegas berpihak rakyat.
“Kami bukan menolak investasi, tapi menolak penindasan. Negara tidak boleh jadi penonton di panggung pelanggaran,” tegas Pahmuddin.
Di bagian akhir pernyataan, ia memperingatkan BPN Sulsel:
“Pemerintah harus hadir di hati masyarakat yang dizalimi korporasi zalim. BPN Sulsel jangan ikuti jejak pendahulu yang abai terhadap persoalan rakyat. Kalau tidak mampu menuntaskan kasus ini, lebih baik angkat kaki dari tanah Celebes. Sulsel membutuhkan pemimpin yang hadir dalam setiap persoalan rakyat. Untuk apa jadi pejabat jika rakyat terus dianiyaya mafia tanah? BPN dan Polri harus bahu-membahu menyelesaikan polemik ini.”
Pahmuddin menegaskan, jika kasus dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap supremasi hukum.
“Supremasi hukum sedang dipertaruhkan. Jangan biarkan keadilan mati di hadapan modal besar,” pungkasnya.(*)
Comment