RETAS.News, Makassar – Gelombang demonstrasi di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir mendapat sorotan dari tokoh masyarakat Sulawesi Selatan.
Guru Besar UIN Alauddin Makassar yang juga Ketua Harian YIC Masjid Al Markaz Al Islami, Prof Dr H Mustari Mustafa, menilai tensi sosial yang meningkat harus direspons dengan kesadaran kolektif dari negara, media, dan masyarakat.
Menurutnya, fenomena demonstrasi yang berubah menjadi anarkhi bukanlah peristiwa yang lahir tiba-tiba. Ia menjelaskan, jika dibaca lewat Framing Theory, publik melihat peristiwa sosial sesuai bingkai (frame) yang dibentuk media.
“Aksi damai sering tenggelam, sementara yang anarkhis lebih cepat menarik perhatian karena dramatis, emosional, dan dianggap layak siar. Situasi ini menciptakan frame krisis yang membuat publik merasa ada keadaan darurat yang menuntut respons segera,” jelas Mustari, Ahad (31/8/2025).
Ia juga mengaitkan fenomena itu dengan Political Opportunity Structure, sebuah kerangka yang menjelaskan bahwa protes radikal lahir ketika saluran resmi partisipasi politik dianggap tidak bekerja dengan baik.
“Kalau aspirasi warga disumbat atau diabaikan, bentuk protes cenderung meningkat eskalasinya. Anarkhi bukan tujuan utama, tetapi jadi jalan pintas ketika ruang partisipasi demokratis dianggap tertutup,” ujarnya
Prof Mustari menegaskan, jika pemerintah hanya menjawab dengan pendekatan keamanan tanpa membuka dialog, risiko anarkhi justru makin besar.
“Anarkhi menjadi rasional bagi sebagian kalangan karena diyakini sebagai satu-satunya cara agar suara mereka didengar,” kata dia.
Ia mengapresiasi deklarasi damai yang digelar Forkopimda Sulsel, pimpinan universitas, dan sejumlah Ormas termasuk KAHMI Sulsel pada Minggu (31/8/2025).
Menurutnya, langkah yang diprakarsai Pangdam XIV Hasanuddin itu menunjukkan kesadaran akan bahaya eskalasi anarkhi, tetapi ia mengingatkan deklarasi semacam itu belum cukup meredam kekecewaan publik.
“Deklarasi damai saja tidak cukup menahan derasnya arus kekecewaan yang bisa memicu aksi keras,” ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa karakter aksi sosial di era digital cenderung mencari perhatian melalui cara dramatis. Aksi damai sering diabaikan, sementara sedikit unsur chaos cepat menyita perhatian.
“Deklarasi damai harus disertai kesadaran bersama: pemerintah wajib menghadirkan solusi konkret atas krisis, media berhati-hati membingkai pemberitaan, dan masyarakat pengguna media sosial menahan diri agar tidak menambah api lewat konten provokatif semata demi jumlah penonton,” tegasnya.
Menurutnya, media dan medsos kini memegang peran ganda: bisa jadi jembatan penenang, bisa pula memperbesar gelombang anarkhi.
Framing berlebihan pada kekerasan, kata dia, berpotensi menciptakan efek domino dan mendorong kelompok lain meniru.
“Tanggung jawab moral media dan warganet adalah menjaga agar publikasi tidak mengundang keresahan yang lebih luas,” ujarnya.
Prof Mustari juga menyinggung kegiatan doa dan zikir bersama di Masjid Al Markaz Al Islami Makassar yang dihadiri Pangdam, tokoh masyarakat, dan jamaah. Ia menyebut langkah itu penting untuk menguatkan sisi spiritual, tetapi pesan moral dan spiritual tidak boleh berhenti di seremoni.
“Spiritualitas harus diturunkan ke dalam tindakan nyata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan doa bersama tanpa kebijakan nyata yang menurunkan ketegangan,” katanya.
Ia menegaskan, bagi umat Islam, merusak fasilitas umum atau menebar kekerasan jelas terlarang, tetapi larangan ini baru efektif bila dibarengi keadilan dari pemerintah.
“Spiritualitas harus mengantar pada kesadaran kolektif bahwa merusak adalah kesalahan, dan menutup ruang dialog adalah kekeliruan,” ucapnya.
Pesan penting yang harus sampai ke pemerintah, kata Prof Mustari, adalah membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan serius agar warga tidak merasa suaranya diabaikan.
“Anarkhi hanyalah gejala dari dua hal, frame media yang lebih suka menyorot chaos, dan struktur politik yang menutup kanal aspirasi. Jika dua hal ini dikelola dengan bijak, aksi damai bisa kembali mendapat tempat yang terhormat,” ujarnya.
Ia menutup pesannya dengan menekankan bahwa stabilitas bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekuatan aparat, melainkan keberanian pemerintah untuk mendengar.
“Deklarasi damai dan doa bersama hanya akan bermakna jika disertai tindakan nyata: merespons aspirasi rakyat, menjaga pemberitaan media agar proporsional, dan mengarahkan medsos agar tidak menjadi panggung provokasi. Dengan itu, bangsa ini dapat keluar dari lingkaran anarkhi menuju ruang dialog yang lebih bermartabat,” pungkasnya.(*)
Comment