Api di Gedung Rakyat: Simbol Krisis Kepercayaan yang Membara

Istimewa : Ahmad Razak

Istimewa : Ahmad Razak

Oleh: Ahmad Razak
Dekan Psikologi  UNM

RETAS.News, Makassar – Peristiwa pembakaran Gedung DPRD Kota Makassar dan demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR RI kembali menggugah kesadaran tentang rapuhnya jembatan kepercayaan antara rakyat dan wakilnya.

Api yang menyala bukan sekadar membakar bangunan, melainkan melambangkan bara kekecewaan yang lama terpendam. Ledakan amarah semacam ini, dalam psikologi sosial, dikenal sebagai collective outrage (kemarahan kolektif).

Ia juga bisa dipahami sebagai gejala depresi sosial, yakni tekanan emosional masyarakat akibat saluran ekspresi tertutup, ruang aspirasi menyempit, dan suara mereka tak lagi terdengar.

Rakyat menaruh harapan besar kepada para wakilnya untuk menjadi corong aspirasi, penjaga kepentingan publik, dan teladan moral. Realitas yang muncul kerap jauh dari ekspektasi.

Saat jurang antara harapan dan kenyataan semakin lebar, frustrasi pun tak terelakkan. Secara psikologis, frustrasi yang lama tertahan akan mencari jalan keluar dalam bentuk agresi, entah teriakan di jalanan, entah tindakan destruktif yang mencengangkan (frustration–aggression hypothesis).

Psikologi Massa di Balik Kericuhan.

Psikologi massa menjelaskan mengapa protes yang awalnya damai dapat berakhir ricuh. Saat seseorang larut dalam kerumunan, identitas pribadi melemah, rasa tanggung jawab moral ikut hilang. Di titik itu, melempar batu, merusak pagar, bahkan membakar gedung terasa wajar.

Situasi itu diperkuat efek penularan emosi (contagion effect). Satu teriakan lantang, satu aksi provokatif, atau satu lemparan benda keras dapat menjalar cepat seperti api menyambar ilalang kering.

Emosi yang menular melahirkan norma baru di tengah kerumunan, merusak dianggap perjuangan, membakar dipandang simbol keberanian melawan ketidakadilan. Norma kolektif semacam ini kerap lebih kuat daripada suara hati individu.

Krisis Kepercayaan: Janji vs Kenyataan

Namun, harus disadari, peristiwa tersebut adalah ekspresi dari krisis kepercayaan akut. Rakyat merasa aspirasi mereka tak lagi memiliki pintu masuk yang sah dan didengar.

Ketika kepercayaan runtuh, simbol-simbol kekuasaan seperti gedung parlemen dipandang tak lebih dari dinding bisu yang membentengi elit dari realitas rakyat. Demonstrasi besar, bahkan yang berujung kerusakan, akhirnya menjadi penanda runtuhnya legitimasi moral wakil rakyat di mata masyarakat.

Sebuah ironi lahir dari jarak lebar antara janji kampanye dan kenyataan. Kesejahteraan, transparansi, keberpihakan pernah dijanjikan, namun yang dirasakan justru kesulitan hidup yang makin menghimpit. Saat kesenjangan antara harapan dan realitas melebar, rasa dirugikan pun kian tajam. Dari sanalah protes kolektif memperoleh momentumnya.

Gedung DPR, pusat maupun daerah, menjadi sasaran pengalihan kemarahan. Wakil rakyat mungkin tak hadir di lokasi, namun gedung yang menjulang dianggap mewakili kekuasaan yang mengecewakan. Membakar dipersepsi sebagai catharsis, pelepasan emosional yang memberi ilusi kelegaan meski akhirnya hanya menyisakan luka sosial lebih dalam.

Dampak Psikologis dan Risiko Pola yang Berulang.

Patut diwaspadai, kerusuhan semacam ini tak pernah berhenti pada kerugian material. Ia selalu meninggalkan jejak psikologis. 

Trauma kolektif membekas pada masyarakat yang terlibat, aparat yang berjaga, maupun warga yang menyaksikan. Lebih jauh, ada risiko social learning yang harus ditanggung.

Jika generasi muda melihat kerusuhan efektif menekan pemerintah, pola ini berpotensi ditiru dalam aksi berikutnya.

Jalan Pemulihan dan Pelajaran Bersama.

Maka, membalas kemarahan rakyat hanya dengan pagar kawat berduri atau barisan aparat tak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian moral wakil rakyat turun dari menara gading, menatap rakyat dengan cinta dan empati.

Kepercayaan yang retak hanya bisa dipulihkan dengan keterbukaan, kejujuran, dan komunikasi tulus. Ruang aspirasi mesti diperluas, bukan dipersempit; protes damai dijamin, bukan dibungkam.

Peristiwa ini menjadi cermin besar bagi kita semua. Rakyat perlu belajar bahwa menyampaikan aspirasi dengan rasional dan bermartabat lebih bernilai dibanding melampiaskan amarah dengan api. Sebaliknya, wakil rakyat harus sadar kursi yang mereka duduki adalah amanah, bukan singgasana kekuasaan.

Bila kesadaran ini tumbuh di kedua pihak, api yang menyala di gedung rakyat tak lagi menjadi api amarah, melainkan nyala harapan bagi masa depan bangsa.

Satu renungan bagi kita semua. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 58:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(*)

Comment